Jumat, 12 Februari 2010

Mari Bicara tentang Kita

Tengoklah televisi. Berapa banyak acara yang berisi konflik pasangan dalam perkawinan, perselingkuhan, bahkan perceraian beredar? Benarkah sebegitu rapuh ikatan perkawinan pasangan muda masa kini?

Kita bisa bilang, "Itu kan hanya televisi mencari sensasi atau itu cuma rekayasa." Tapi coba lihat sekeliling kita, seberapa mudah kita bisa menemukan kasus serupa di dunia nyata?

Tak bisa disepelekan, urusan cinta bukan cuma obrolan remaja. "Kebutuhan mencintai dan dicintai itu adalah satu bentuk kesejahteraan manusia," kata Roslina Verauli, MPSi, psikolog dan konsultan masalah anak dan keluarga di Rumah Sakit Pondok Indah dan Rumah Sakit Cengkareng. Begitu urusan cinta selesai, sering kali masalah karier, keluarga, dan lainnya bisa terasa mudah dijalani.

Masalahnya, kata Vera, dibanding masa ketika perempuan bergantung secara ekonomi pada lelaki, pola hubungan pasangan kini berubah. Banyak wanita yang mandiri atau punya karier. "Implikasinya, hubungan pasangan bersifat lebih egalitarian. Pembuat keputusan tak lagi hanya pihak lelaki, semua masalah bisa dikompromikan," kata Vera.

Ada plus-minus dalam pola hubungan ini. Plusnya adalah ketahanan ekonomi keluarga lebih mantap karena ada dua sumber penghasilan. Beban pria pun lebih ringan. Tapi ada yang harus dibayar pasangan yang umumnya berusia 30-40 ini. "Kita hidup di dunia yang serba instan. Inginnya semua serba cepat beres," kata Vera. Ini juga tercermin kala pasangan ingin menyelesaikan masalah.

Keterbatasan waktu karena kesibukan mengejar karier membuat mereka tak punya waktu untuk duduk membahas persoalan. "Jikapun membahas, sering kali hanya permukaannya," kata Vera, yang banyak menangani pasangan muda yang mengalami masalah komunikasi. Efek dari ketergesaan mengatasi masalah dengan pasangan ini adalah konflik tidak selesai dan terus menumpuk hingga meledak.

Padahal hal demikian tak perlu terjadi. Vera, yang Januari lalu menerbitkan bukunya berjudul Love Cold tentang bagaimana rahasia menjaga keutuhan cinta berdasarkan pengalaman sejumlah pasiennya, menyebutkan, tiap pasangan semestinya menyediakan waktu khusus bagi pasangannya. "Saling menunjukkan si dia penting dalam hidup kita," katanya.

Tak perlu "lebay" melakukannya. "Boleh sekadar saling memberi tatapan hangat. Atau obrolan-obrolan ringan yang bukan tentang anak atau pekerjaan, tapi tentang ke-kita-an sebagai pasangan," katanya. Vera menyayangkan mereka yang sibuk berkomunikasi dengan teman-teman lewat jejaring sosial, tapi tak sempat memberikan sapaan mesra kepada pasangan.

Memupuk kehangatan hubungan bisa dilakukan saat sarapan pagi, makan malam, atau saat menjelang tidur. Pastikan bicara tentang "kita" dalam suasana rileks. "Intinya, ciptakan momennya. Bukan soal second, third honey moon. Bulan madu kesekian itu adalah bonus, tapi ada yang harus dijaga dari hari ke hari," kata Vera.

Saran Vera sejalan dengan penelitian terbaru dari Amerika Serikat. Penelitian itu menyimpulkan, pasangan yang kompak dan menyebut diri dengan "kami" cenderung berhasil menyelesaikan masalah secara lebih baik dibanding pasangan yang memisahkan dirinya dari pasangannya saat dihadapkan pada satu masalah. Penelitian dari University of California, Berkeley, itu menyimpulkannya berdasarkan analisis terhadap percakapan 154 pasangan berusia paruh baya.

Penelitian sejenis sebelumnya menyebutkan, penggunaan kata "kami" atau memisahkan diri menjadi "saya" menjadi indikator kuat yang menunjukkan kepuasan dalam perkawinan dalam pasangan yang berusia lebih muda.

Penggunaan "kami" atau "saya" pada pasangan juga menunjukkan perasaan yang lebih dalam tentang arti dan identitas kebersamaan. "Nilai individualitas kini sangat tertanam dalam masyarakat, tapi dalam perkawinan, saat menyebut kata 'kami' tersirat kerelaan untuk melepas sedikit dari 'saya'," kata Robert Levenson, dosen psikologi dari UC Berkeley.

Levenson juga merupakan salah satu penulis hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Psychology and Aging pada akhir Januari lalu. "Penggunaan kata 'kita' secara alami akan tumbuh sebagai bentuk kemitraan, bahwa pasangan berada dalam tim yang sama, dan kepercayaan diri bahwa mereka bisa mengatasi masalah apa pun bersama-sama," kata Benjamin Seider, kolega Levenson dalam penelitian ini, yang juga psikolog dari UC Berkeley.


Sumber: TEMPO Interaktif

Tidak ada komentar: